Dispensasi adalah pemberian hak kepada
seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan.
Artinya, seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu jika keadaan
“menghendaki” dan tidak ada pilhan lain. Pernikahan dibawah batas usia bukanlah
persoalan sederhana, disatu sisi hukum yang berlaku di Indonesia tidak
menghendaki adanya pernikahan dibawah umur, disisi lain jika Pengadilan menolak
dispensasi anak dibawah umur, maka akan merugikan anak tersebut jika anak
tersebut telah mengalami kehamilan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur terus berupaya agar pada tahun
2021 ini terjadi penurunan angka perkawinan anak dibawah umur. upaya yang telah ditempuh untuk
menekan perkawinan anak ini salah satunya dengan diterbitkannya Surat Edaran
Gubernur Jawa Timur Nomor 474.14/810/109.5 tahun 2021 Tentang Pencegahan
Perkawinan Anak yang ditujukan kepada Bupati dan Walikota se-Jawa Timur,
meskipun sifatnya himbauan tetapi ditindaklanjuti dalam pelayanan publik dengan
memberikan pembelajaran dan sosialisasi kepada masyarakat.
Pada
7 April 2021, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jawa Timur menggelar
Workshop Pencegahan Perkawinan Anak dengan Narasumber :
1. Wakil Pengadian Tinggi Agama Jawa Timur
(Bapak Sukri)
2. PW NU Jawa Timur (Bapak Kyai Haji
Marzuki Mustamar)
3. Mewakili DPRD Jatim Komisi E (Hari
Putri Lestari)
Peserta
yang hadir dari berbagai Ketua Pengadilan Agama se-Jatim, Ketua Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Anak & Kependudukan kota/kabupaten se-Jatim dan OPD
terkait di Provinsi Jatim. Pembahasannya diantaranya adalah :
1. Di Jatim, kenaikan pengajuan
dispensasi usia perkawinan anak sejak ditetapkannya Perma 2019, dispensasi
meningkat dari tahun 2019 (6.171) menjadi (17.571) di tahun 2020. Belum
dilakukan penelitian penyebab kenaikan sekitar 300% di setiap tiap kab/kota
(apakah sebab peraturan menteri agama atau sebab pandemi covid-19) Kenaikan ini harus menjadi perhatian & upaya bersama,
namun juga tidak bisa serta merta menyimpulkan bahwa dengan kenaikan dispensasi
perkawinan anak menunjukkan kenaikan angka perkawinan anak.
2. Upaya Pencegahan Perkawinan anak
bisa dilakukan diantaranya melalui :
§ Kerjasama seluruh pihak terkait : Tokoh
agama, Orang tua, RT, RW, Kepala Desa/ lurah tokoh masyarakat, aktifis, OPD
terkait (sekolah, dinas pendidikan, pemuda, kebudayaan, dinas perempuan&anak,
kependudukan, pengadilan agama, media massa dll)
§ Sosialisasi secara masif Peraturan
Perundangan-Undangan tentang Perkawinan, termasuk UU Perlindungan Anak, UU
Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah tangga.
§ Diadakannya kembali
kursus/konsultasi calon pengantin dan orang tua, di setiap kota/ kabupaten bila
perlu di setiap kecamatan.
§ Meningkatan anggaran penunjang.
§ Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur
tahun 2021 akan dievaluasi 2 atau 3 tahun kedepan jika belum menurunkan
perkawinan anak kemungkinan dapat diusulkan Perda Jatim.
DPRD Jatim Komisi E bidang
Kesejahteraan Rakyat berupaya menyelesaikan Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Tenaga Keperawatan. Raperda ini Merupakan turunan dari
Undang-Undang nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Sekaligus melengkapi
aturan yang sudah ada sebelumnya, yakni Perda nomor 7 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.
Data
dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, hingga Februari 2021
terdapat 83.918 perawat yang teregister. Dimana 20.000 di antaranya belum
bekerja secara tetap. Dan ada 3.213 perawat yang bertugas di Pondok Kesehatan
Desa (Ponkedes).
Perawat
adalah garda terdepan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, terutama yang
melakukan praktik keperawatan di daerah terpencil yang memerlukan adanya
peningkatan kompetensi, tambahan kewenangan, peningkatan dan kesejahteraan.
Permasalahan
adalah terdapat sekitar 10-20% perawat yang melaksanakan praktik mandiri,
utamanya di daerah terpencil yang melakukan praktik keperawatan di luar
wewenang yang ditentukan. Masalah lainnya adalah banyak perawat belum memiliki
status yang jelas, sebagian besar perawat saat ini masih berstatus sebagai
perawat sukarelawan atau tenaga honor dan banyak perawat pada berbagai
fasilitas kesehatan yang menerima gaji kurang layak dan ada yang belum
mempunyai jaminan sosial BPJS Kesehatan padahal pekerjaannya berisiko.
Berdasarkan fakta akan
banyaknya problem tenaga keperawatan di Jatim itulah maka Komisi E menganggap perlu untuk segera menyelesaikan
Raperda tentang Tenaga Keperawatan sebagai instrumen hukum untuk memberikan
perlindungan dan peningkatan kompetensi, kesejahteraan dan jaminan sosial bagi
tenaga keperawatan dalam menyelenggarakan praktik keperawatan di Jatim. Muatan dalamRaperda Tenaga Keperawatan meliputi tugas
dan wewenang, perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pengembangan dan perlindungan
hukum tenaga keperawatan, kesejahteraan, jaminan sosial, kerja sama,
partisipasi masyarakat dan pembinaan serta pengawasan terhadap tenaga
keperawatan.
Komisi E DPRD Jatim mengusulkan pembentukan Raperda tentang
Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya. Raperda ini dirasa dapat memberikan
peran yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah dan mengurangi peran swasta
dalam penempatan pekerja migran.
Raperda
PMI ini menindaklanjuti amanat UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam
UU Cipta Kerja, ada perintah atributif kepada pemerintah daerah untuk membuat
Perda karena kewenangan pelatihan calon PMI harus ditangani pemerintah. Sebab selama
ini yang lebih dominan berperan adalah Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia (P3MI) dalam perekrutan, penampungan, pelatihan sampai dengan pemberangkatan
dengan biaya tinggi yang dapat memberatkan calon PMI.
Pemerintah
Provinsi Jawa Timur sudah menganggarkan untuk pelatihan. Namun meskipun sudah
diumumkan tapi pendaftarnya minim. Sosialisasi yang kurang dan P3MI yang
terlampau berkuasa atau dominan.
Menurut data UPT P3TKI Disnakertrans Jatim, Pekerja Migran
Indonesia (PMI) yang berasal dari Jatim berjumlah 68.740 orang. Dari jumlah
itu, 74.83 persen perempuan bekerja di sektor informal. Banyak masalah dialami
seperti gaji tidak dibayar, kekerasan fisik, seksual dan perdagangan orang.
Raperda ini digagas dan dikerjakan secara serius oleh DPRD
Jatim, terbukti pada tanggal 16 Maret lalu DPRD menggelar rapat untuk membahas
Raperda PMI dan mengundang Dinas Tenaga Kerja Jatim, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Kependudukan, Perwakilan P3MI
(Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia), dan aktifis yang diwakili
oleh M. Cholily.
Fraksi
PDIP Jatim juga mendukung adanya pembahasan Raperda PMI. Tapi yang paling
penting yaitu implementasi Perda tersebut setelah disahkan. Jika penganggaran
dan pelaksanaan implementasinya tidak dikawal maka tidak akan optimal. HPL
berkomitmen akan mengawal Raperda PMI tersebut karena PMI merupakan penyumbang
devisa negara yang harus dilindungi haknya.
Menurut
HPL, Raperda ini sangat perlu karena mengorganisir problem dari hulu ke hilir
mulai dari peningkatan SDM, ketrapilan, proses dokumen, kesiapan mental,
pengetahuan kontrak kerja, termasuk budaya, etika, hukum di negata tujuan,
sertifikat kompetensi, BPJS Ketenagakerjaan,
Bagi
Calon PMI yang kurang mampu pengurusan dokumen juga akan dibiayai oleh APBD
Jawa Timur. Sehingga perlu adanya koordinasi & sinergi Provinsi dengan
daerah/kota/kabupaten khususnya kantong-kantong PMI.
RAPERDA Pengembangan Pesantren adalah peraturan pelaksanaan
dari UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, yang nantinya akan mengatur
tentang kebutuhan-kebutuhan Pesantren yang menyebar di 38 kabupaten/ kota di
Jawa Timur. Adanya PERDA pengembangan pesantren sangat penting karena jumlah
Pondok Pesantren di Jatim cukup banyak. Selama ini pondok pesantren tumbuh dan
berkembang nyaris tanpa campur tangan pemerintah secara aktif padahal Jawa
Timur adalah provinsi yang memiliki pondok pesantren terbesar di Indonesia. Berdasar
data Kementerian Agama, jumlah pesantren di Jawa Timur mencapai 6.561 lembaga.
Tentu kuantitas sebanyak itu dapat menjadi potensi yang besar bagi percepatan
pembangunan nasional maupun daerah apabila eksistensinya didukung dan
difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui adanya PERDA.
Dengan adanya PERDA tentang Pondok Pesantren akan memberikan
hak dan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara termasuk para santri.
Salah satunya adalah kesetaraan pendidikan atau ijasah yang diterbitkan
pesantren. Dengan demikian lulusan pesantren akan bisa melanjutkan ke jenjang
pendidikan umum di atasnya.
DPRD Jatim secara resmi telah membentuk Panitia Khusus (Pansus)
RAPERDA Pengembangan Pesantren. Pansus ini diyakini akan mempercepat pembahasan
RAPERDA tersebut agar segera menjadi PERDA. HPL turut menyambut baik
pembentukan tim Pansus tersebut.
Pada tanggal 9 Maret 2021 lalu, HPL beserta DPRD Jatim menggelar
Rapat Paripurna untuk mendengar pendapat Gubernur terhadap RAPERDA Pengembangan
Pesantren.
Fraksi PDI Perjuangan juga akan selalu mengawal dan mendukung
regulasi yang dianggap baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga setelah
rapar Paripurna DRPD, HPL melanjutkan agenda dengan melakukan FGD bersama
fraksi PDI Perjuangan untuk membahas bagaimana menyikapi RAPERDA Pengembangan
Pesantren, FGD dengan di narasumberi oleh Prof. Dr. KH. Moh. Zakki selaku
pengasuh Pondok Pesantren Mukmin Mandiri Pesantren Agrobisnis &
Agroindustri.
Pada
1 Maret 2021 HPL menggunakan kesempatan resesnya untuk menyerap aspirasi masyarakat di Kecamatan
Kunir Kabupaten Lumajang. Masyarakat Kunir banyak yang mengeluhkan tentang
harga pupuk yang mahal, langkah dan indikasi ada
pupuk palsu. Ada juga yang mengusulkan perbaikan jalan rusak, kemudian ada
lansia operasi mata yang klaim BPJS nya ditolak, ada juga anak sekolah SD yang
belum dapat bantuan KIP sekolah di MI, dan ada beberapa masyarakat yang
mengusulkan bantuan UMKM.
Berbeda dengan masyarakat kecamatan
Tempeh Kabupaten Lumajang, saat HPL melakukan serap aspirasi di Kecamatan
Tempeh pada tanggal 2 Maret 2021, Masyarakat mengeluhkan tentang lampu
penerangan jalan, perlu dibangun BLK karena di kabupaten Lumajang tidak ada
Balai Lantihan kerja untuk peningkatan ketrampilan pemuda, terutama
pengelolahan /pengembangan pertanian. Beberapa masyarakat juga menyeluhkan
masalah BPJS kesehatan di RS (ada lansia disuruh bayar meski punya kartu BPJS
dikerenakan yang bersangkutan tidak mau menandatangi sebagai pasien covid
sedangkan pasien belum di swap belum tentu positif covid). Juga keluhan tentang
tanggul jebol yang membanjiri 100 hektar sawah merugikan masyarakat setempat. Masyarakat
mendapat informasi dari BPBD bahwa Lumajang hanya punya 1 perahu karet jelas
ini sangat kurang dibanding luas kabupaten lumajang yang banyak. Masyarakat
mengusulkan untuk perlu dibentuk Desa tangguh Bencana sebagai antisipasi
meminimalkan risiko bencana.
Sementara reses hari ketiga, di kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, yang dihadiri oleh Komunitas Ojek, Komunitas Peduli Lingkungan, Pok darwis tubing tempuran, Komunitas terapi ruqyah dan bekam, Kelompok budidaya perikanan, TIRTA MERU SWIMMING CLUB, Buruh tukang bangunan, Komunitas pencinta pancing ikan dan Tokoh masyarakat. Mereka mengeluhkan tentang banyaknya desa yang belum ada alat pengangkutan sampah, masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan termasuk di sungai, perlu pengelolahan sampah, adanya pencemaran sungai, lahan tanah di gunung banyak yang gundul/penebangan liar, rumah penduduk banyak yang tidak punya got/saluran air, sungai tidak dirawat / tidak dikeruk secara rutin sehingga jika musim hujan banjir. Perlu alat-alat olahraga untuk meningkatkan prestasi atlet-atlet di Lumajang, perbaikan jalan, bantuan alat kebencanaan, tarif ojol sangat murah tapi orderan sepi, perlu bantuan ternak, perlu bantuan pembuatan pupuk organik dan sebagainya.
Kemudian di Kecamatan Ranuyoso
Kabupaten Lumajang, masyarakat mengeluhkan tentang air bersih PDAM sering mati,
pengelolahan air bersih oleh desa penggunakan listrik sangat mahal dimusim
kemarau, penerangan jalan, harga pertanian khususnya pisang apukat kelapa jatuh
diatas 50 % dari harga sebelum pandemic, perlu pelatihan pengelohan hasil
pertanian dan bantuan pemasaran, sinyal jaringan telekomunikasi atau Wifi sulit
maka murid dan orang tua kesulitan menerima pelajaran secara daring.
Di kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember
masyarakat mengeluhkan tentang gaji PNS & perangkat desa yang belum tersalurkan akibat
dari APBD Jember 2021 masih bermasalah, potongan BPJS tertunggak dan saat ada
perangkat desa yang sakit diharuskan melunasi iuran BPJS yang tertunggak jika
ingin dilayani, Perangkat desa "menagih janji kampanye" Ibu Khofifah
saat itu calon Gubernur Jatim bahwa jika terpilih akan memberi tunjangan
perangkat desa Rp 500.000.- tiap bulan tapi faktanya hingga saat ini belum
terima/belum terealisasi, perangkat desa memohon iuran BPJS yang 5% ditanggung
pemerintah, Buruh Tani (bukan pemilik lahan pertanian) yang penghasilannya
rata-rata dibawah Rp 1.000.000 /tiap bulan (dibawah UMR) berharap dapat bantuan
modal usaha diantaranya alat/ rombong/gerobak dan modal untuk jualan, waduk
tidak berfungsi dan air bersih kurang disaat musim hujan, karang taruna memerlukan
pelatihan meningkatkan pertanian dan pengelolahan, potensi alam yang sangat
indah perlu diwujudkan sebagai desa wisata, Jalan sebagai akses ekonomi masih
perlu disegerakan termasuk lampu jalan, banyak rumah masih dari gedek tidak
layak huni.
Dari
berbagai keluhan yang diterima oleh HPL, HPL secara serius akan meneruskan ke
Dinas dan Pejabat terkait. HPL berkomitmen akan mengawal dan membantu
mengingatkan stakeholder yang bersangkutan. Karena bagi HPL kewajiban
sebagai wakil rakyat adalah mendengarkan, melihat dan mengupayakan apa yang
dibutuhkan masyarakat untuk ditindaklanjuti oleh pejabat dan dinas terkait.
Termasuk dalam penyusunan penganggaran dan monitoring pelaksanaannya.
Pada
tanggal 11 Februari 2021 di Hotel Bintang Mulia Jember, DPRD Provinsi Jawa
Timur yang membidangi Komisi E (Kesejahteraan Rakyat) melakukan sosialisasi terkait
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 6 tahun 2020 tentang Perlindungan Obat
Tradisional.
Sosialisasi
ini dihadiri oleh perwakilan pelaku UMKM, penjual jamu, petani, tokoh
masyarakat, para medis, aktifis, akademisi termasuk perwakilan disabilitas. Meskipun
yang hadir tidak sedikit tapi panitia tetap menerapkan protokol kesehatan
dengan sangat ketat. Seluruh peserta baik panitia maupun narasumber wajib melakukan
SWAP Antigen dan mentaati protokol kesehatan.
HPL
yang menjadi salah satu narasumber menyampaikan bahwa PERDA ini memberikan
kepastian hukum dalam upaya melindungi kepentingan petani dan peternak bahan
baku obat tradisional, pelaku usaha, dan pengguna obat tradisional. Karena selama
ini Indonesia dikenal dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, termasuk
rempah-rempahnya. Rempah-rempah sudah digunakan sebagai obat atau jamu semenjak
ribuan tahun lalu. Sehingga harus ada pula kejelasan perlindumgan terhadap
segala sesuatu dari hulu sampai hilirnya obat tradisional.
Beberapa
manfaat PERDA ini yaitu mengatur tentang pemerintah berkewajiban memfasilitasi
bahan baku berupa bibit tanaman obat tradisional untuk dibudidayakan oleh
masyarakat, memberikan akses permodalan. PERDA ini juga mendorong pemerintah
Jawa Timur memberikan pendampingan dan pelatihan kepada petani, serta pelaku
usaha jamu tradisional. Pemerintah
diharapkan dapat berkordinasi dengan kota/kabupaten di Jawa Timur untuk sinergi
menindaklanjuti turunan dari PERDA ini. Karena Provinsi Jawa Timur lah yang
pertama mempunyai PERDA tentang perlindungan obat tradisional.
HPL
menegaskan bahwa Komisi E akan terus berupaya memohon Pemerintah Pusat dan BPJS
untuk dapat mengganti biaya pengobatan obat tradisional. Yang selama ini obat
atau jamu tradisional tidak dapat di klaim-kan pada BPJS. Sedangkan banyak masyarakat
yang percaya bahwa obat tradisional manjur untuk pencegahan & penyembuhan penyakit.
Selama ini BPJS Kesehatan hanya menanggung obat kimia untuk kesembuhan pasien,
padahal obat kimia cenderung lebih mahal.
PERDA ini kedepannya juga bisa meningkatakan
perekonomian masyarakat Indonesia melalui pemanfaatkan potensi alam, sumber daya
manusia, menghemat devisa (karena mayoritas obat masih import) dan
ketergantungan dengan obat kimia.